Ayoo, Sekolah!!!

Ayoo, Sekolah!!!

“Aleysia Rovina”
Panggilan itu telah lama tak didengarnya. Nama lengkap yang cukup rumit bagi lidah orang-orang desa yang tidak terbiasa mengucapkan kalimat ataupun kata dalam bahasa asing.
Vina mencubit pipi Siti. Entah kenapa beberapa hari ini anak bertubuh big itu suka memanggil namanya secara lengkap.
“Ibu Guru Aleysia Rovina.”
“Kamu kenapa sih, Ti?” Vina terpancing juga.
“Pantes kok, Mbak,” jawab Siti nyengir.
“Apanya yang pentes?”
“Ya, itu tadi. Ibu Guru Aleysia Rovina.”
“Siapa juga yang mau jadi guru.”
“Jadi, Mbak Vina tidak mau?” tanya wajah bulat itu terlihat kecewa.
“Aku tidak mengerti maksudmu,” balas Vina menaikkan sebelas alisnya.
“Kata Mbak Monah, seminggu lagi akan ada sekolah di pondok ini. Emm... SMP terbuka. Nah, Mbak Vina kan pintas. Nanti jadi gurunya.”
Vina tertawa lebar. “hiii... sembarangan saja. Memangnya boleh mengangkat diri sendiri jadi guru. Siapa juga yang kasih SK?”
“Apa itu SK?”
“Surat Keputusan.”
Lima bulan menjadi warga negara d’Abrar atau DA, dengan seringnya menguccap istilah-istilah baru tanpa sengaja, telah menjadikan penghuni kamar Maria Qibtiyah menyukai Vina. Penghuni kamar itu selalu bertanya setiap kali Vina keceplosan bicara istilah yang asing bagi telinga mereka.
“Nanti biar Pak Kiai yang buat SK, Mbak. Boleh tidak SK dibuat oleh Pak Kiai?”
Melihat raut muka Siti yang polos, Vina gemas sekali. “Coba deh, kita lihat nanti. Semoga bisa, Baby.”Tangan Vina memegang kedua pipi tembem Siti.
“Wah, saya kan bukan babi. Kok dipanggil babi. Binatang najis mughaladhah itu. Emoh, ah!” Siti manyun lagi.
“B-A-B-Y, “ koreksi Vina mengeja kata itu per huruf, lanntas mengucapkannnya pelan, “Artinya bayi. Makanya nanti kamu harus ikut sekolah, belajar bahasa Inggris. Biar pinter.”
“Inggih, Bu Guru. Ibu Guru Aleysia Rovina,”jawab Siti sembari melipat kedua tangan di depan dada, persis seperti anak TK.
Vina berusaha keras agar tawanya tidak meledak dan menjadi terpingkal-pingkal.

         
”Mbak Vina tidak keberatan jadi guru pendamping teman-teman, kan?”
Menjadi pendamping belajar , yang berarti menularkan ilmu? Menolak? Sombong betul batin Vina. Tanpa keraguan sedikit pun, Vina menganggung. “insya Allah.”
“Kalau begitu nanti sore ikut saya sowan ke Ndalem.”
“Selain Vina, siapa lagi Mbak Monah?”
“Kang Luqman, Lurah Santri Putra.”
“Maksud saya, yang dari Santri Putri.”
“Em, belum ada. Mungkin nanti Mbak Jannah bisa membantu, karena dia lulusan SMP.”
Bekerja dengan Mbak Jannah? Hati Vina langsung bersorak-sorai.

         
“Fa... ther..., artinya ayah. Mo...ther..., artinya ... ibu... eh, simbok.”
“Jangan keras-keras Ti, kalau belajar,” protes Warni kelihatan kesal. “Aku jadi ndak bisa mikir.”
Vina tersenyum, bangga  melihat kegigihan teman-temannya belajar. “Ti, belajar mengejanya di aula aja, yuk! Sama aku.”
“Mau...mau. sama Bu Guru Aley,”jawabnya. Serta-merta Siti bangkit dari rebahannya.
“Sudahlah, cepat! Jangan ribut terus, kasihan Warni yang sedang menghafak nahwu jadi terganggu,” kata Vina menarik tangan Siti.
         
Sebulan sudah Vina membimbing anakm-anak DA yang mengikuti program SMP terbuka. Pak kiai yang hanya menempuh pendidikan formal smpai SD, ternnyata berpikir jauh ke depan mengenai nasip para santri.
Meskipun banyak santri yang justru merasa terbebani, program itu terus berjalan .
Vina sendiri heran. Sekolah geratis, bakan biaya untuk membuat fasfoto pun ditanggung oleh pak kiai, masih ada saja  yang mengeluh dan malas.
“ coba kita lihat! Orang-orang yang korupsi, yang makan uang rakyat, itu semmuanya orang sekolahan. Cara belajar seperti sekolah itu memang tidak mengajarkan agama dan budi pekerti karena memang warisan belanda. Negara kita ini jadi rusak dan banyak maksiat, oleh ulah orang-orang itu.
“orang-orang sekolah itu hanya di ajari bagaimana mencari uang sebanyak mungkin. Tidak peduli bagaimana caranya. Anggota DPR, MPR, bahkan Presiden semuuanya cinta dunia. Mereka tidak kenal kata wira’i, zuhud...
Vina merasa ada yang tergores di sudut hatinya.”Warni, kamu juga mendengar?”
Warni terlihat sedih. “tapi saya tidak setuju, Mbak. Kang Ambrul berlebihan. Buktinya, Mbak Vina yang orang sekolahan tidak begitu.”
“Alhamdulillah, “jawab Vina  menarik nafas lega.
Selanjutnya, Vina terlibat diskusi dan pembicaraan seru dengan gadis yang berasal dari keluarga miskin, tapi punya semangat baja untuk terus belajar ini.
Vina mengeryitkan kening melihat banyaknya garis yang lowong di daftar presentasi santri putra yang dipegangnya.”Kang Luqman, kok banyak yang membolos. Pada kemana?”
“tidak, Mbak Vina. Malam itu saya ndhereke bapak menengok kiai Husein yag gerah. Memangnya ada apa, Mbak?”
“Ah, tidak apa-apa,” jawab Vina merasa belum waktunya terus terang.
Lagi pula, Vina merasa belum mengenal pribadi Luqman dengan baik. Siapa tahu, pandangan Luqman mengenai dunia sekolah tak jauh beda dari Amrul. Meskipun Luqman sempat bersekolah satu STM dan berhenti lantaran ketiadaan biaya. Namun who knows?

         
“Mbak Monah tidak masuk? Saya lihat di bawah, tadi Bu Guru Mirna sudah datang.”
“Saya izin saja, Mbak.”
“Lho, kenapa?”
“Lagi muthalaah kitab. Belum selesai. Lagi pula, sekolah itu yang penting ikut ujian to, buat apa ijazah.”
Sejenak hati Vina tersentak. “Oh, ya sudah kalau begitu.” Vina meneruskan langkah pelahan menuju kamarnya.
“Lho... kamu kok belum berangkat juga, Ti? Bu Guru mirna sudah rawuh, lho. Warni mana?”
“warni sudah turun dari tadi. Saya tidak masuk saja, Mbak Vina. Hafalan yang buat nannti malam belum siap.”
“Ya sudah,  terserah kamu,” ucap Vina pelan yang hanya terdengar oleh dirinya sendiri. Ada kekecewaan yang pelan-pelan menyelinap di kalbunya.
Sebagai orang yang mendapat amanah dari Pak Kiai untuk mengawasi proses santri Darul Abrar belajar di SMP Terbuka, siang itu perasaan Vina benar-benar terluka.
Sebenarnya , siapa yang membutuhkan ilmu? Siapa yang membutuhkan pendidikan? Apa benar hanya sekedar ijasah yang menjadikan motivasi?
“Astaghfirullah,” ucapVina sembari mengusap mukanya. Dia berencana hendak membicarakan masalah ini kepada Mbak Jannah.
         
“Namun semua sesuai dengan kemampuan dan kesempatan yang kita punya. Hanya saja, kita perlu sadari bahwa semua ilmu yang tidak ditujukan untuk memudahkan Allah itu mulia. Baik ilmu yang berhubungan dengan ibadah mahdhah seperti yang kita pelajari di pesantren maupun ilmu yang berhubungan dengan muammalah, seperti yang dipelajari oleh orang-orang di sekolah.”
Raut-raut muka yang sejak sepuluh menit Vina bicara sudah menunjukkan ekspresi tidak suka, makin nyata garis-garis ketidaksukaannya. Vina tidak sedikit pun merasa gentar oleh kenyataan itu.
“Hanya Allah yang berhak menilai, manakah di antara kita yang lebih mulia dihadapannya.”
Tepuk tangan menemani Vina turun dari mimbar. Vina bukan tidak tahu materi yang di bawakannya akan memicu pro dan kontra. Namun demikian, ia merasa itu lah kewajibannya. Menyampaikan kebenaran meskipun mungkin terdengar pahit atau bahkan berakibat pahit.
“Mbak Vina hebat ya, kalau pidato,” puji Siti sambil meletakkan segelas air putih di depan Vina. “Diminum dulu, Mbak. Haus kan, habis bicara sesemangat itu?”
“mbak vina punya teman sekolah bernama Nana. Dia belum pernah belajar di pesantren. Tapi dia pintar sekali ilmu agama. Dia juga baik. Dia lah yang mengjarkan untuk memakai jilbab, untuk belaajar Al-qur’an. Bicaranya lembut dan sangat sopan.”
“Contah mudahnya, kiai yang hannya mau mengisi pengajian kalau amplopnya tebal.”
“Jadi... kesimpulannya, “pancing pinang.”
‘Besok... kita harus masuk sekolah lagi, lebih semangat lagi,“ jawab Siti tertawa.
“Betul... ayooooo, sekolah!” ajak Vina.
Semua anak yang berada di ruangan itu tersenyum. Mereka bahagia dan ikut bertepuk tangan bersama Vina.

Sumber: Unknow

Comments

Popular posts from this blog

Izinkan aku kembali padamu ya Allah

Muhammadiyah dan Seni Budaya

Problem Based Learning (Pembelajaran Berbasis Masalah)