Problem Based Learning (Pembelajaran Berbasis Masalah)
PROBLEM BASED LEARNING (PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH)
Oleh : Novian Bengkulu
Pendahuluan
Oleh : Novian Bengkulu
Pendahuluan
Seiring dengan perkembangan zaman, pendidikan juga mengalami perubahan pesat. Hal ini karena adanya tuntutan zaman terhadap dunia pendidikan, maka dilakukan reformasi mulai dalam sistem pendidikan hingga ke proses pembelajarannya, misalnya perubahan pada kurikulum, penciptaan dan pemanfaatan berbagai media pembelajaran, dan perubahan paradigma pendidikan dari yang teacher centre ke student centre dan perubahan-perubahan lainnya.
Sebelum perubahan paradigma pembelajaran yang berpusat pada guru, siswa hanya dijadikan objek pembelajaran, dan guru merupakan subjek pembelajaran, guru merupakan satu-satunya sumber belajar, sehingga siswa sangat tergantung pada sosok guru.
Untuk meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar, para ahli pembelajaran telah menyarankan penggunaan paradigma pembelajaran konstruktivistik untuk kegiatan belajar-mengajar di kelas. Dengan paradigma ini, pembelajaran selalu diprioritaskan pada siswa. Kegiatan pembelajaran didesain sedemikian rupa agar lebih banyak melibatkan siswa, mendorong siswa untuk lebih kreatif dan belajar mandiri. Dalam proses pembelajaran, guru dapat menggunakan pendekatan, strategi, model, atau metode pembelajaran inovatif berupa pembelajaran berbasis masalah (Problem-based learning), selanjutnya disingkat PBL, merupakan salah satu model pembelajaran inovatif yang dapat memberikan kondisi belajar aktif kepada siswa dengan mengarahkan siswa untuk bersama-sama memecahkan suatu masalah. Berikut akan dibahas lebih rinci tentang pembelajaran berbasis masalah tersebut.
Sebelum perubahan paradigma pembelajaran yang berpusat pada guru, siswa hanya dijadikan objek pembelajaran, dan guru merupakan subjek pembelajaran, guru merupakan satu-satunya sumber belajar, sehingga siswa sangat tergantung pada sosok guru.
Untuk meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar, para ahli pembelajaran telah menyarankan penggunaan paradigma pembelajaran konstruktivistik untuk kegiatan belajar-mengajar di kelas. Dengan paradigma ini, pembelajaran selalu diprioritaskan pada siswa. Kegiatan pembelajaran didesain sedemikian rupa agar lebih banyak melibatkan siswa, mendorong siswa untuk lebih kreatif dan belajar mandiri. Dalam proses pembelajaran, guru dapat menggunakan pendekatan, strategi, model, atau metode pembelajaran inovatif berupa pembelajaran berbasis masalah (Problem-based learning), selanjutnya disingkat PBL, merupakan salah satu model pembelajaran inovatif yang dapat memberikan kondisi belajar aktif kepada siswa dengan mengarahkan siswa untuk bersama-sama memecahkan suatu masalah. Berikut akan dibahas lebih rinci tentang pembelajaran berbasis masalah tersebut.
Defenisi Problem Based Learning (PBL)
Problem Based Learning (selanjutnya baca PBL) merupakan salah satu inovasi pendidikan. Berdasarkan defenisi dari Wikipedia problem based learning is a student-centered instructional strategy in which students collaboratively solve problems and reflect on their experiences. Dari pengertian di atas dijelaskan bahwa PBL adalah suatu strategi pembelajaran yang berpusat pada siswa, starategi ini mengkolaborasikan antara pemecahan masalah dan refleksi terhadap suatu pengalaman.
Menurut Ward (2002) dan Stepien (1993) PBL adalah suatu model pembelajaran yang melibatkan siswa untuk memecahkan suatu masalah melalui tahap-tahap metode ilmiah sehingga siswa dapat mempelajari pengetahuan yang berhubungan dengan masalah tersebut dan sekaligus memiliki ketrampilan untuk memecahkan masalah.
Pendapat lain mengatakan bahwa PBL is an instructional method that challenges students to "learn to learn," working cooperatively in groups to seek solutions to real world problems. Defenisi ini mengemukakan bahwa PBL merupakan salah satu metode pembelajaran yang menantang bagi siswa untuk “belajar untuk belajar”, bekerja sama dalam kelompok untuk menemukan solusi atas masalah-masalah yang nyata dalam kehidupan mereka. Dalam PBL siswa akan terlibat sebagai subjek pembelajaran dan akan mendorong rasa ingin tahu siswa dalam proses pembelajaran.
Menurut Suradijono (2004) PBL adalah metode belajar yang menggunakan masalah sebagai langkah awal dalam mengumpulkan dan mengintegrasikan pengetahuan baru. Atau menurut Boud & Felleti (1991) menyatakan bahwa Problem Based Learning is a way of constructing and teaching course using problem as a stimulus and focus on student activity”. Lebih lanjut Boud dan felleti, (1997), Fogarty (1997) menyatakan bahwa PBL adalah suatu pendekatan pembelajaran dengan membuat konfrontasi kepada pebelajar (siswa/mahasiswa) dengan masalah-masalah praktis, berbentuk ill-structured, atau open ended melalui stimulus dalam belajar.
Dapat disimpulkan bahwa PBL adalah strategi pembelajaran yang mendorong siswa untuk menemukan solusi terhadap suatu masalah, baik masalah fiktif yang dirancang oleh guru untuk melatih siswa maupun masalah yang nyata dalam kehidupan siswa. Pemecahan masalah ini dapat dipikirkan secara bersama-sama dalam kelompok kerja.
Adapun konsep PBL ini dikembangkan berdasarkan pada teori-teori pendidikan Vygotsky, Dewey, dan teori lain yang terkait dengan teori pembelajaran konstruktivis sosial-budaya dan desain pembelajaran.
Sedangkan hasil belajar (outcomes) yang diperoleh siswa yang diajar dengan PBL menurut Arends (2004) yaitu: (1) inkuiri dan ketrampilan melakukan pemecahan masalah, (2) belajar model peraturan orang dewasa (adult role behaviors), dan (3) ketrampilan belajar mandiri (skills for independent learning).
Karakteristik Problem Based Learning (PBL)
Strategi PBL memiliki karakteristik sebagai berikut:
1. Learning is driven by challenging, open-ended, ill-defined and ill-structured, practical problems. Jadi strategi PBL didorong oleh tantangan, lebih terbuka, masalahnya tidak jelas, tidak beraturan dan praktis.
2. Students generally work in collaborative groups. Dalam PBL ini siswa bekerjasama dalam suatu kelompok untuk menemukan solusi suatu masalah.
3. Teachers take on the role as "facilitators" of learning. Dalam PBL guru berperan sebagai fasilitator, yakni yang mengarahkan, membimbing, dan mendampingi siswa dalam proses pembelajaran.
4. Instructional activities are based on learning strategies involving semantic reasoning, case based reasoning, analogical reasoning, causal reasoning, and inquiry reasoning, These activities include creating stories; reasoning about cases; concept mapping; causal mapping; cognitive hypertext crisscrossing; analogy making; and question generating. Penerapan kegiatan instruksional PBL didasarkan pada strategi pembelajaran yang melibatkan penalaran semantik, penalaran berbasis kasus, penalaran analogis, penalaran kausal, dan penalaran penyelidikan,
Selain itu, menurut Fogarty (1997) PBL memiliki karakteristik-karakteristik sebagai berikut: (1) belajar dimulai dengan suatu masalah, (2) memastikan bahwa masalah yang diberikan berhubungan dengan dunia nyata siswa/mahasiswa, (3) mengorganisasikan pelajaran diseputar masalah, bukan diseputar disiplin ilmu, (4) memberikan tanggung jawab yang besar kepada pebelajar dalam membentuk dan menjalankan secara langsung proses belajar mereka sendiri, (5) menggunakan kelompok kecil, dan (6) menuntut pebelajar untuk mendemontrasikan apa yang telah mereka pelajari dalam bentuk suatu produk atau kinerja.
Pada hakekatnya karakteristik PBL ini menciptakan pembelajaran yang menantang siswa untuk memecahkan berbagai masalah yang dihadapi dengan menjalin kerjasama dengan siswa lain, dan guru hanya berperan sebagai fasilitator. Jadi pembelajaran berpusat pada siswa.
Menurut Hmelo-Silver & Barrows (2006) bahwa dalam perspektif konstruktivisme, peran instruktur/ guru dalam PBL adalah membimbing proses belajar daripada memberikan pengetahuan. Dari perspektif ini, komponen penting dalam proses PBL adalah adanya umpan balik (feed back), refleksi terhadap proses pembelajaran dan dinamika kelompok.
Menurut Ward (2002) dan Stepien (1993) PBL adalah suatu model pembelajaran yang melibatkan siswa untuk memecahkan suatu masalah melalui tahap-tahap metode ilmiah sehingga siswa dapat mempelajari pengetahuan yang berhubungan dengan masalah tersebut dan sekaligus memiliki ketrampilan untuk memecahkan masalah.
Pendapat lain mengatakan bahwa PBL is an instructional method that challenges students to "learn to learn," working cooperatively in groups to seek solutions to real world problems. Defenisi ini mengemukakan bahwa PBL merupakan salah satu metode pembelajaran yang menantang bagi siswa untuk “belajar untuk belajar”, bekerja sama dalam kelompok untuk menemukan solusi atas masalah-masalah yang nyata dalam kehidupan mereka. Dalam PBL siswa akan terlibat sebagai subjek pembelajaran dan akan mendorong rasa ingin tahu siswa dalam proses pembelajaran.
Menurut Suradijono (2004) PBL adalah metode belajar yang menggunakan masalah sebagai langkah awal dalam mengumpulkan dan mengintegrasikan pengetahuan baru. Atau menurut Boud & Felleti (1991) menyatakan bahwa Problem Based Learning is a way of constructing and teaching course using problem as a stimulus and focus on student activity”. Lebih lanjut Boud dan felleti, (1997), Fogarty (1997) menyatakan bahwa PBL adalah suatu pendekatan pembelajaran dengan membuat konfrontasi kepada pebelajar (siswa/mahasiswa) dengan masalah-masalah praktis, berbentuk ill-structured, atau open ended melalui stimulus dalam belajar.
Dapat disimpulkan bahwa PBL adalah strategi pembelajaran yang mendorong siswa untuk menemukan solusi terhadap suatu masalah, baik masalah fiktif yang dirancang oleh guru untuk melatih siswa maupun masalah yang nyata dalam kehidupan siswa. Pemecahan masalah ini dapat dipikirkan secara bersama-sama dalam kelompok kerja.
Adapun konsep PBL ini dikembangkan berdasarkan pada teori-teori pendidikan Vygotsky, Dewey, dan teori lain yang terkait dengan teori pembelajaran konstruktivis sosial-budaya dan desain pembelajaran.
Sedangkan hasil belajar (outcomes) yang diperoleh siswa yang diajar dengan PBL menurut Arends (2004) yaitu: (1) inkuiri dan ketrampilan melakukan pemecahan masalah, (2) belajar model peraturan orang dewasa (adult role behaviors), dan (3) ketrampilan belajar mandiri (skills for independent learning).
Karakteristik Problem Based Learning (PBL)
Strategi PBL memiliki karakteristik sebagai berikut:
1. Learning is driven by challenging, open-ended, ill-defined and ill-structured, practical problems. Jadi strategi PBL didorong oleh tantangan, lebih terbuka, masalahnya tidak jelas, tidak beraturan dan praktis.
2. Students generally work in collaborative groups. Dalam PBL ini siswa bekerjasama dalam suatu kelompok untuk menemukan solusi suatu masalah.
3. Teachers take on the role as "facilitators" of learning. Dalam PBL guru berperan sebagai fasilitator, yakni yang mengarahkan, membimbing, dan mendampingi siswa dalam proses pembelajaran.
4. Instructional activities are based on learning strategies involving semantic reasoning, case based reasoning, analogical reasoning, causal reasoning, and inquiry reasoning, These activities include creating stories; reasoning about cases; concept mapping; causal mapping; cognitive hypertext crisscrossing; analogy making; and question generating. Penerapan kegiatan instruksional PBL didasarkan pada strategi pembelajaran yang melibatkan penalaran semantik, penalaran berbasis kasus, penalaran analogis, penalaran kausal, dan penalaran penyelidikan,
Selain itu, menurut Fogarty (1997) PBL memiliki karakteristik-karakteristik sebagai berikut: (1) belajar dimulai dengan suatu masalah, (2) memastikan bahwa masalah yang diberikan berhubungan dengan dunia nyata siswa/mahasiswa, (3) mengorganisasikan pelajaran diseputar masalah, bukan diseputar disiplin ilmu, (4) memberikan tanggung jawab yang besar kepada pebelajar dalam membentuk dan menjalankan secara langsung proses belajar mereka sendiri, (5) menggunakan kelompok kecil, dan (6) menuntut pebelajar untuk mendemontrasikan apa yang telah mereka pelajari dalam bentuk suatu produk atau kinerja.
Pada hakekatnya karakteristik PBL ini menciptakan pembelajaran yang menantang siswa untuk memecahkan berbagai masalah yang dihadapi dengan menjalin kerjasama dengan siswa lain, dan guru hanya berperan sebagai fasilitator. Jadi pembelajaran berpusat pada siswa.
Menurut Hmelo-Silver & Barrows (2006) bahwa dalam perspektif konstruktivisme, peran instruktur/ guru dalam PBL adalah membimbing proses belajar daripada memberikan pengetahuan. Dari perspektif ini, komponen penting dalam proses PBL adalah adanya umpan balik (feed back), refleksi terhadap proses pembelajaran dan dinamika kelompok.
Kelebihan Problem Based Learning
PBL dapat diterapkan dalam kurikulum dan pembelajaran, mengingat pentingnya siswa/mahasiswa memiliki pengalaman dan kemampuan mengatasi masalah nyata dalam kehidupannya sehari-hari secara mandiri.
Adapun kelebihan menggunakan PBL, antara lain; (1) Dengan PBL akan terjadi pembelajaran bermakna. Siswa/mahasiswa yang belajar memecahkan suatu masalah maka mereka akan menerapkan pengetahuan yang dimilikinya atau berusaha mengetahui pengetahuan yang diperlukan. Belajar dapat semakin bermakna dan dapat diperluas ketika siswa/mahasiswa berhadapan dengan situasi di mana konsep diterapkan; (2) Dalam situasi PBL, siswa/mahasiswa mengintegrasikan pengetahuan dan ketrampilan secara simultan dan mengaplikasikannya dalam konteks yang relevan. Artinya, apa yang mereka lakukan sesuai dengan keadaan nyata bukan lagi teoritis sehingga masalah-masalah dalam aplikasi suatu konsep atau teori mereka akan temukan sekaligus selama pembelajaran berlangsung; dan (3) PBL dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis, menumbuhkan inisiatif siswa/mahasiswa dalam bekerja, motivasi internal untuk belajar, dan dapat mengembangkan hubungan interpersonal dalam bekerja kelompok.
Adapun kelebihan menggunakan PBL, antara lain; (1) Dengan PBL akan terjadi pembelajaran bermakna. Siswa/mahasiswa yang belajar memecahkan suatu masalah maka mereka akan menerapkan pengetahuan yang dimilikinya atau berusaha mengetahui pengetahuan yang diperlukan. Belajar dapat semakin bermakna dan dapat diperluas ketika siswa/mahasiswa berhadapan dengan situasi di mana konsep diterapkan; (2) Dalam situasi PBL, siswa/mahasiswa mengintegrasikan pengetahuan dan ketrampilan secara simultan dan mengaplikasikannya dalam konteks yang relevan. Artinya, apa yang mereka lakukan sesuai dengan keadaan nyata bukan lagi teoritis sehingga masalah-masalah dalam aplikasi suatu konsep atau teori mereka akan temukan sekaligus selama pembelajaran berlangsung; dan (3) PBL dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis, menumbuhkan inisiatif siswa/mahasiswa dalam bekerja, motivasi internal untuk belajar, dan dapat mengembangkan hubungan interpersonal dalam bekerja kelompok.
Penerapan Problem-Based Learning dalam Kurikulum
Konsep PBL telah diterapkan dalam kurikulum pendidikan oleh beberapa negara. Salah satu perguruan tinggi di Singapura yakni Politeknik telah menerapkan PBL ini sejak tahun 2002.
PBL di Politeknik ini diterapkan melalui pembelajaran dengan sehari satu masalah (One-Day-One-Problem), jumlah mahasiswa dalam satu kelas dibatasi tidak lebih dari 25 orang, mereka dibagi ke dalam kelompok kerja kemudian disajikan satu masalah yang mungkin terjadi dalam skenario yang nyata. Peran fasilitator/ dosen yakni membimbing mahasiswa melalui tiga kali rapat sehari penuh dan membantu mereka dengan berdiskusi, sehingga melalui proses pembelajaran ini melahirkan mahasiswa yang memiliki kemampuan mengatasi masalah (problem-solving skills). Setelah proses diskusi dan mahasiswa telah menemukan solusi pemecahan masalah, setiap kelompok harus menyajikan temuan dan saran mereka untuk memecahkan masalah yang telah ditetapkan sebelumnya. Selama penyajian, mahasiswa didorong untuk menyampaikan pendapat mereka. Setelah selesai penyajian kelompok, fasilitator menjelaskan solusi ideal untuk memecahkan masalah tersebut. Penilaian dilakukan setiap hari selama proses pembelajaran berlangsung.
PBL juga diterapkan di Malaysia, upaya ini dilakukan dengan memperkenalkan PBL dalam Matematika sekunder yang disebut PBL4C yang merupakan singkatan dari Problem Based Learning the Four Core Areas in the Mathematics Education Framework. Keempat wilayah inti dalam kerangka pendidikan matematika yaitu isi, proses berpikir, keterampilan, dan nilai-nilai, dengan siswa/mahasiswa sebagai fokus pembelajaran.
Beberapa sekolah kedokteran telah memasukkan PBL ini ke dalam kurikulum mereka. Dalam proses pembelajaran digunakan kasus pasien yang nyata untuk mengajarkan siswa bagaimana berpikir layaknya seorang dokter. Sedangkan lebih dari 80% sekolah kedokteran di Amerika Serikat sekarang ini memiliki beberapa bentuk pembelajaran berbasis masalah dalam program pembelajaran mereka.
Di Indonesiapun, PBL ini telah diterapkan dalam pembelajaran, misalnya di UGM,
diterapkan di jurusan Teknik Geologi. Dan saat ini telah berupaya diterapkan di kurikulum sekolah.
PBL di Politeknik ini diterapkan melalui pembelajaran dengan sehari satu masalah (One-Day-One-Problem), jumlah mahasiswa dalam satu kelas dibatasi tidak lebih dari 25 orang, mereka dibagi ke dalam kelompok kerja kemudian disajikan satu masalah yang mungkin terjadi dalam skenario yang nyata. Peran fasilitator/ dosen yakni membimbing mahasiswa melalui tiga kali rapat sehari penuh dan membantu mereka dengan berdiskusi, sehingga melalui proses pembelajaran ini melahirkan mahasiswa yang memiliki kemampuan mengatasi masalah (problem-solving skills). Setelah proses diskusi dan mahasiswa telah menemukan solusi pemecahan masalah, setiap kelompok harus menyajikan temuan dan saran mereka untuk memecahkan masalah yang telah ditetapkan sebelumnya. Selama penyajian, mahasiswa didorong untuk menyampaikan pendapat mereka. Setelah selesai penyajian kelompok, fasilitator menjelaskan solusi ideal untuk memecahkan masalah tersebut. Penilaian dilakukan setiap hari selama proses pembelajaran berlangsung.
PBL juga diterapkan di Malaysia, upaya ini dilakukan dengan memperkenalkan PBL dalam Matematika sekunder yang disebut PBL4C yang merupakan singkatan dari Problem Based Learning the Four Core Areas in the Mathematics Education Framework. Keempat wilayah inti dalam kerangka pendidikan matematika yaitu isi, proses berpikir, keterampilan, dan nilai-nilai, dengan siswa/mahasiswa sebagai fokus pembelajaran.
Beberapa sekolah kedokteran telah memasukkan PBL ini ke dalam kurikulum mereka. Dalam proses pembelajaran digunakan kasus pasien yang nyata untuk mengajarkan siswa bagaimana berpikir layaknya seorang dokter. Sedangkan lebih dari 80% sekolah kedokteran di Amerika Serikat sekarang ini memiliki beberapa bentuk pembelajaran berbasis masalah dalam program pembelajaran mereka.
Di Indonesiapun, PBL ini telah diterapkan dalam pembelajaran, misalnya di UGM,
diterapkan di jurusan Teknik Geologi. Dan saat ini telah berupaya diterapkan di kurikulum sekolah.
Teknik Penerapan Problem Based Learning dalam Pembelajaran
Penerapan PBL dalam proses pembelajaran memerlukan persiapan-persiapan. Salah satunya yaitu menetapkan permasalahan atau tugas (triggering problem/question), dengan syarat; 1) masalah tidak mempunyai struktur yang jelas sehingga siswa/mahasiswa terdorong untuk membuat sejumlah hipotesis dan mengkaji berbagai kemungkinan penyelesaian masalah; 2) masalah cukup kompleks dan ambigu, sehingga siswa/mahasiwa terdorong untuk menggunakan strategi-strategi penyelesaian masalah dan keterampilan berpikir yang tinggi, seperti melakukan analsis dan sintesis, evaluasi, dan pembentukan pengetahuan dan pengalaman baru; 3) Bermakna dan ada hubungannya dengan kehidupan nyata siswa/mahasiswa, sehingga mereka termotivasi untuk mengarahkan dirinya sendiri dan menguji pengetahuan/pemahaman lama mereka dalam menyelesaikan tugas tersebut.
Arends (2004) juga merinci langkah-langkah pelaksanaan PBL dalam pengajaran, ada 5 fase (tahap) yang perlu dilakukan untuk mengimplementasikan PBL. Fase-fase tersebut merujuk pada tahap-tahapan praktis yang dilakukan dalam kegiatan pembelajaran. Fase tersebut, dapat diuraikan sebagai berikut:
Fase Aktivitas guru
Fase 1:
Mengorientasikan mahasiswa pada masalah. Guru/dosen menjelaskan tujuan pembelajaran, logistik yang diperlukan, memotivasi mahasiswa terlibat aktif pada aktivitas pemecahan masalah yang dipilih. Sutrisno (2006) menekankan empat hal penting pada proses ini, yaitu: (1) Tujuan utama pengajaran ini tidak untuk mempelajari sejumlah besar informasi baru, tetapi lebih kepada belajar bagaimana menyelidiki masalah-masalah penting dan bagaimana menjadi mahasiswa yang mandiri, (2) Permasalahan dan pertanyaan yang diselidiki tidak mempunyai jawaban mutlak “benar“, sebuah masalah yang rumit atau kompleks mempunyai banyak penyelesaian dan seringkali bertentangan, (3) Selama tahap penyelidikan (dalam pengajaran ini), mahasiswa didorong untuk mengajukan pertanyaan dan mencari informasi. Guru akan bertindak sebagai pembimbing yang siap membantu, namun mahasiswa harus berusaha untuk bekerja mandiri atau dengan temannya, dan (4) Selama tahap analisis dan penjelasan, mahasiswa akan didorong untuk menyatakan ide-idenya secara terbuka dan penuh kebebasan.
Fase 2:
Mengorganisasi mahasiswa untuk belajar. Guru/dosen membantu mahasiswa membatasi dan mengorganisasi tugas belajar yang berhubungan dengan masalah yang dihadapi. guru/dosen dapat memulai kegiatan pembelajaran dengan membentuk kelompok-kelompok siswa dimana masing-masing kelompok akan memilih dan memecahkan masalah yang berbeda. Prinsip-prinsip pengelompokan siswa dalam pembelajaran kooperatif dapat digunakan dalam konteks ini seperti: kelompok harus heterogen, pentingnya interaksi antar anggota, komunikasi yang efektif, adanya tutor sebaya, dan sebagainya. Guru/dosen sangat penting memonitor dan mengevaluasi kerja masing-masing kelompok untuk menjaga kinerja dan dinamika kelompok selama pembelajaran.
Setelah mahasiswa diorientasikan pada suatu masalah dan telah membentuk kelompok belajar selanjutnya guru dan mahasiswa menetapkan subtopik-subtopik yang spesifik, tugas-tugas penyelidikan, dan jadwal.
Fase 3:
Membimbing penyelidikan individu maupun kelompok. Pada tahap ini, guru/dosen harus mendorong mahasiswa untuk mengumpulkan data dan melaksanakan eksperimen (mental maupun aktual) sampai mereka betul-betul memahami dimensi situasi permasalahan. Tujuannya adalah agar mahasiswa mengumpulkan cukup informasi untuk menciptakan dan membangun ide mereka sendiri. Guru/dosen membantu mahasiswa untuk mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya dari berbagai sumber, bukan hanya dari buku dan ia seharusnya mengajukan pertanyaan pada mahasiswa untuk berifikir tentang masalah dan ragam informasi yang dibutuhkan untuk sampai pada pemecahan masalah yang dapat dipertahankan.
Setelah mahasiswa mengumpulkan cukup data dan memberikan permasalahan tentang fenomena yang mereka selidiki, selanjutnya mereka mulai menawarkan penjelasan dalam bentuk hipotesis, penjelesan, dan pemecahan. Selama pengajaran pada fase ini, guru mendorong mahasiswa untuk menyampikan semua ide-idenya dan menerima secara penuh ide tersebut. Guru juga harus mengajukan pertanyaan yang membuat mahasiswa berfikir tentang kelayakan hipotesis dan solusi yang mereka buat serta tentang kualitas informasi yang dikumpulkan. Pertanyaan-pertanyaan berikut kiranya cukup memadai untuk membangkitkan semangat penyelidikan bagi mahasiswa. “Apa yang Anda butuhkan agar Anda yakin bahwa pemecahan dengan cara Anda adalah yang terbaik?” atau “Apa yang dapat Anda lakukan untuk menguji kelayakan pemecahanmu?” atau “Apakah ada solusi lain yang dapat Anda usulkan?”.
Fase 4:
Mengembangkan dan menyajikan hasil karya. Guru/dosen membantu mahasiswa merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan, video, dan model, dan membantu mereka untuk berbagi tugas dengan temannya. Langkah selanjutnya adalah mempamerkan hasil karyanya dan guru berperan sebagai organisator pameran. Akan lebih baik jika dalam pemeran ini melibatkan mahasiswa-mahasiswa lainnya, guru-guru, orangtua, dan lainnya yang dapat menjadi “penilai” atau memberikan umpan balik.
Fase 5:
Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah. Selama fase ini guru meminta mahasiswa untuk merekonstruksi pemikiran dan aktivitas yang telah dilakukan selama proses kegiatan belajarnya. Kapan mereka pertama kali memperoleh pemahaman yang jelas tentang situasi masalah? Kapan mereka yakin dalam pemecahan tertentu? Mengapa mereka dapat menerima penjelasan lebih siap dibanding yang lain? Mengapa mereka menolak beberapa penjelasan? Mengapa mereka mengadopsi pemecahan akhir dari mereka? Apakah mereka berubah pikiran tentang situasi masalah ketika penyelidikan berlangsung? Apa penyebab perubahan itu? Apakah mereka akan melakukan secara berbeda di waktu yang akan datang? Tentunya masih banyak lagi pertanyaan yang dapat diajukan untuk memberikan umpan balik dan menginvestigasi kelemahan dan kekuatan PBL untuk pengajaran.
Pannen (2001) mengemukakan langkah-langkah pemecahan masalah dalam pembelajaran PBL paling sedikit ada delapan tahapan yaitu: (1) mengidentifikasi masalah, (2) mengumpulkan data, (3) menganalisis data, (4) memecahkan masalah berdasarkan pada data yang ada dan analisisnya, (5) memilih cara untuk memecahkan masalah, (6) merencanakan penerapan pemecahan masalah, (7) melakukan ujicoba terhadap rencana yang ditetapkan, dan (8) melakukan tindakan (action) untuk memecahkan masalah.
Arends (2004) juga merinci langkah-langkah pelaksanaan PBL dalam pengajaran, ada 5 fase (tahap) yang perlu dilakukan untuk mengimplementasikan PBL. Fase-fase tersebut merujuk pada tahap-tahapan praktis yang dilakukan dalam kegiatan pembelajaran. Fase tersebut, dapat diuraikan sebagai berikut:
Fase Aktivitas guru
Fase 1:
Mengorientasikan mahasiswa pada masalah. Guru/dosen menjelaskan tujuan pembelajaran, logistik yang diperlukan, memotivasi mahasiswa terlibat aktif pada aktivitas pemecahan masalah yang dipilih. Sutrisno (2006) menekankan empat hal penting pada proses ini, yaitu: (1) Tujuan utama pengajaran ini tidak untuk mempelajari sejumlah besar informasi baru, tetapi lebih kepada belajar bagaimana menyelidiki masalah-masalah penting dan bagaimana menjadi mahasiswa yang mandiri, (2) Permasalahan dan pertanyaan yang diselidiki tidak mempunyai jawaban mutlak “benar“, sebuah masalah yang rumit atau kompleks mempunyai banyak penyelesaian dan seringkali bertentangan, (3) Selama tahap penyelidikan (dalam pengajaran ini), mahasiswa didorong untuk mengajukan pertanyaan dan mencari informasi. Guru akan bertindak sebagai pembimbing yang siap membantu, namun mahasiswa harus berusaha untuk bekerja mandiri atau dengan temannya, dan (4) Selama tahap analisis dan penjelasan, mahasiswa akan didorong untuk menyatakan ide-idenya secara terbuka dan penuh kebebasan.
Fase 2:
Mengorganisasi mahasiswa untuk belajar. Guru/dosen membantu mahasiswa membatasi dan mengorganisasi tugas belajar yang berhubungan dengan masalah yang dihadapi. guru/dosen dapat memulai kegiatan pembelajaran dengan membentuk kelompok-kelompok siswa dimana masing-masing kelompok akan memilih dan memecahkan masalah yang berbeda. Prinsip-prinsip pengelompokan siswa dalam pembelajaran kooperatif dapat digunakan dalam konteks ini seperti: kelompok harus heterogen, pentingnya interaksi antar anggota, komunikasi yang efektif, adanya tutor sebaya, dan sebagainya. Guru/dosen sangat penting memonitor dan mengevaluasi kerja masing-masing kelompok untuk menjaga kinerja dan dinamika kelompok selama pembelajaran.
Setelah mahasiswa diorientasikan pada suatu masalah dan telah membentuk kelompok belajar selanjutnya guru dan mahasiswa menetapkan subtopik-subtopik yang spesifik, tugas-tugas penyelidikan, dan jadwal.
Fase 3:
Membimbing penyelidikan individu maupun kelompok. Pada tahap ini, guru/dosen harus mendorong mahasiswa untuk mengumpulkan data dan melaksanakan eksperimen (mental maupun aktual) sampai mereka betul-betul memahami dimensi situasi permasalahan. Tujuannya adalah agar mahasiswa mengumpulkan cukup informasi untuk menciptakan dan membangun ide mereka sendiri. Guru/dosen membantu mahasiswa untuk mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya dari berbagai sumber, bukan hanya dari buku dan ia seharusnya mengajukan pertanyaan pada mahasiswa untuk berifikir tentang masalah dan ragam informasi yang dibutuhkan untuk sampai pada pemecahan masalah yang dapat dipertahankan.
Setelah mahasiswa mengumpulkan cukup data dan memberikan permasalahan tentang fenomena yang mereka selidiki, selanjutnya mereka mulai menawarkan penjelasan dalam bentuk hipotesis, penjelesan, dan pemecahan. Selama pengajaran pada fase ini, guru mendorong mahasiswa untuk menyampikan semua ide-idenya dan menerima secara penuh ide tersebut. Guru juga harus mengajukan pertanyaan yang membuat mahasiswa berfikir tentang kelayakan hipotesis dan solusi yang mereka buat serta tentang kualitas informasi yang dikumpulkan. Pertanyaan-pertanyaan berikut kiranya cukup memadai untuk membangkitkan semangat penyelidikan bagi mahasiswa. “Apa yang Anda butuhkan agar Anda yakin bahwa pemecahan dengan cara Anda adalah yang terbaik?” atau “Apa yang dapat Anda lakukan untuk menguji kelayakan pemecahanmu?” atau “Apakah ada solusi lain yang dapat Anda usulkan?”.
Fase 4:
Mengembangkan dan menyajikan hasil karya. Guru/dosen membantu mahasiswa merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan, video, dan model, dan membantu mereka untuk berbagi tugas dengan temannya. Langkah selanjutnya adalah mempamerkan hasil karyanya dan guru berperan sebagai organisator pameran. Akan lebih baik jika dalam pemeran ini melibatkan mahasiswa-mahasiswa lainnya, guru-guru, orangtua, dan lainnya yang dapat menjadi “penilai” atau memberikan umpan balik.
Fase 5:
Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah. Selama fase ini guru meminta mahasiswa untuk merekonstruksi pemikiran dan aktivitas yang telah dilakukan selama proses kegiatan belajarnya. Kapan mereka pertama kali memperoleh pemahaman yang jelas tentang situasi masalah? Kapan mereka yakin dalam pemecahan tertentu? Mengapa mereka dapat menerima penjelasan lebih siap dibanding yang lain? Mengapa mereka menolak beberapa penjelasan? Mengapa mereka mengadopsi pemecahan akhir dari mereka? Apakah mereka berubah pikiran tentang situasi masalah ketika penyelidikan berlangsung? Apa penyebab perubahan itu? Apakah mereka akan melakukan secara berbeda di waktu yang akan datang? Tentunya masih banyak lagi pertanyaan yang dapat diajukan untuk memberikan umpan balik dan menginvestigasi kelemahan dan kekuatan PBL untuk pengajaran.
Pannen (2001) mengemukakan langkah-langkah pemecahan masalah dalam pembelajaran PBL paling sedikit ada delapan tahapan yaitu: (1) mengidentifikasi masalah, (2) mengumpulkan data, (3) menganalisis data, (4) memecahkan masalah berdasarkan pada data yang ada dan analisisnya, (5) memilih cara untuk memecahkan masalah, (6) merencanakan penerapan pemecahan masalah, (7) melakukan ujicoba terhadap rencana yang ditetapkan, dan (8) melakukan tindakan (action) untuk memecahkan masalah.
Contoh Implementasi PBL dalam Pembelajaran
RENCANA PERKULIAHAN I
MATAKULIAH : Metodologi Penelitian Kimia
MATERI : Pengembangan Masalah penelitian
SEMESTER : Ke 6
PROGRAM STUDI : Kimia
ALOKASI WAKTU : 2 x Pertemuan @ 100 menit
I. Kompetensi
Memahami prinsip-prinsip pengembangan masalah penelitian kimia dan perumusan masalah penelitian
II. Indikator Pencapaian Hasil Belajar
1. menjelaskan perbedaan isu, masalah, dan fakta.
2. Mengidentifikasi masalah dari suatu kasus
3. Mengembangkan masalah dari hasil penelitian
4. Menjelaskan fisibilitas masalah untuk penelitian
III. Kegiatan Pembelajaran
Pendahuluan (Kegiatan Dosen):
1. Menjelaskan tujuan perkuliahan, kegiatan perkuliahan, dan jenis evaluasi yang akan dilakukan
2. Membagi kelompok mahasiswa berdasarkan kriteria yang ditetapkan dosen ( 1 kelompok 4 orang)
3. Memberikan tugas kepada masing-masing kelompok untuk membahas artikel hasil penelitian kimia yang diberikan oleh dosen.
Kegiatan Inti
1. Meminta perwakilan kelompok untuk mendiskripsikan artikel yang dibaca/dibahas meliputi: apa yang diteliti, mengapa orang tersebut melakukan penelitian itu (alasan teoritisnya), bagaimana langkah-langkah yang dilakukan, apa hasilnya, dan bagaimana kesesuaian dengan hasil penelitian lain atau teori yang ada.
2. Setelah semua kelompok selesai, dilakukan diskusi kelas. Dosen memfasilitasi diskusi tentang apa yang disebut masalah, bagaimana membedakan dengan isu, dan fakta, bagaimana teknik mengembangkan masalah penelitian, bagaimana merumuskan masalah, dan fisibilitas penelitian.
3. Menugaskan kepada kelompok untuk mengembangkan masalah baru dari hasil penelitian yang dibaca. Masing-masing kelompok presentasi dan kelompok lain menilai fisibilitas masalah yang dikembangkan.
4. Menugaskan kepada masing-masing mahasiswa mengumpulkan referensi tentang tema penelitian yang akan dipilihnya dan membuat resume masalah yang dipilih.
5. Menugaskan mahasiswa mempresentasikan masalahnya pada kelompok, anggota kelompok menilai fisibilitas dan originalitasnya. Masing-masing kelompok memilih satu masalah yang dipresentasikan di kelas.
6. Presentasi masalah oleh masing-masing kelompok, kelompok lainnya memberikan tanggapan, dan masukan dari dosen.
7. Masing-masing mahasiswa mendiskusikan masalah yang ditulisnya secara personal (bimbingan individual).
8. Mahasiswa mengumpulkan judul dan latar belakang masalah serta rumusan masalah, untuk ditukarkan antar kelompok (diberikan format penilaian).
9. Mahasiswa melakukan revisi produk dan mengumpulkan tugasnya pada dosen.
10. Dosen menugaskan masing-masing mahasiswa untuk melakukan kajian teori/kepustakaan tentang masalah yang dibuat (langkah berikutnya mulai dari langkah 5 sampai 9).
MATAKULIAH : Metodologi Penelitian Kimia
MATERI : Pengembangan Masalah penelitian
SEMESTER : Ke 6
PROGRAM STUDI : Kimia
ALOKASI WAKTU : 2 x Pertemuan @ 100 menit
I. Kompetensi
Memahami prinsip-prinsip pengembangan masalah penelitian kimia dan perumusan masalah penelitian
II. Indikator Pencapaian Hasil Belajar
1. menjelaskan perbedaan isu, masalah, dan fakta.
2. Mengidentifikasi masalah dari suatu kasus
3. Mengembangkan masalah dari hasil penelitian
4. Menjelaskan fisibilitas masalah untuk penelitian
III. Kegiatan Pembelajaran
Pendahuluan (Kegiatan Dosen):
1. Menjelaskan tujuan perkuliahan, kegiatan perkuliahan, dan jenis evaluasi yang akan dilakukan
2. Membagi kelompok mahasiswa berdasarkan kriteria yang ditetapkan dosen ( 1 kelompok 4 orang)
3. Memberikan tugas kepada masing-masing kelompok untuk membahas artikel hasil penelitian kimia yang diberikan oleh dosen.
Kegiatan Inti
1. Meminta perwakilan kelompok untuk mendiskripsikan artikel yang dibaca/dibahas meliputi: apa yang diteliti, mengapa orang tersebut melakukan penelitian itu (alasan teoritisnya), bagaimana langkah-langkah yang dilakukan, apa hasilnya, dan bagaimana kesesuaian dengan hasil penelitian lain atau teori yang ada.
2. Setelah semua kelompok selesai, dilakukan diskusi kelas. Dosen memfasilitasi diskusi tentang apa yang disebut masalah, bagaimana membedakan dengan isu, dan fakta, bagaimana teknik mengembangkan masalah penelitian, bagaimana merumuskan masalah, dan fisibilitas penelitian.
3. Menugaskan kepada kelompok untuk mengembangkan masalah baru dari hasil penelitian yang dibaca. Masing-masing kelompok presentasi dan kelompok lain menilai fisibilitas masalah yang dikembangkan.
4. Menugaskan kepada masing-masing mahasiswa mengumpulkan referensi tentang tema penelitian yang akan dipilihnya dan membuat resume masalah yang dipilih.
5. Menugaskan mahasiswa mempresentasikan masalahnya pada kelompok, anggota kelompok menilai fisibilitas dan originalitasnya. Masing-masing kelompok memilih satu masalah yang dipresentasikan di kelas.
6. Presentasi masalah oleh masing-masing kelompok, kelompok lainnya memberikan tanggapan, dan masukan dari dosen.
7. Masing-masing mahasiswa mendiskusikan masalah yang ditulisnya secara personal (bimbingan individual).
8. Mahasiswa mengumpulkan judul dan latar belakang masalah serta rumusan masalah, untuk ditukarkan antar kelompok (diberikan format penilaian).
9. Mahasiswa melakukan revisi produk dan mengumpulkan tugasnya pada dosen.
10. Dosen menugaskan masing-masing mahasiswa untuk melakukan kajian teori/kepustakaan tentang masalah yang dibuat (langkah berikutnya mulai dari langkah 5 sampai 9).
Penutup
1. Dosen memberikan umpan balik pada tugas yang dikumpulkan untuk diperbaiki pada akhir kuliah (proposal).
2. Diberikan umpan balik penilaian kinerja kelompok 3-4 kali pertemuan.
IV. Evaluasi
Dalam kegiatan diskusi kelompok, dosen melakukan penilaian kelompok untuk masing-masing mahasiswa dengan menggunakan contoh rubrik penilaian seperti di bawah ini:
Rubrik Aktivitas Diskusi
Skor Skala Kriteria:
4 : Sangat Baik
Mahasiswa mengajukan pertanyaan penting berhubungan dengan masalah yang dibahas lebih dari dua kali dalam satu pertemuan, memberikan tanggapan atas pertanyaan temannya, mengambil inisiatif dalam diskusi kelompok.
3 : Baik
Mahasiswa mengajukan pertanyaan penting berhubungan dengan masalah yang dibahas, frekuensi kurang dari 2 kali, memberikan tanggapan, ada inisiatif walau tidak penting.
2 : Cukup
Mengajukan pertanyaan yang kurang fokus, frekuensi 1 kali, kurang memberikan tanggapan, kurang inisiatif.
1 : Kurang
Pasif dalam diskusi, tidak ada pertanyaan dan tanggapan.
Simpulan
Pembelajaran Berbasis Masalah atau Problem Based Learning merupakan salah satu inovasi metode, model, dan strategi pembelajaran yang menekankan keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran, dimana siswa berpartisipasi aktif dalam menemukan solusi pemecahan suatu masalah secara bersama-sama dengan siswa lain, sementara peran guru/dosen hanya sebagai fasilitator/pembimbing pembelajaran. Dengan demikian, siswa diharapkan akan memiliki kompetensi (kemampuan) memecahkan berbagai permasalahan nyata yang akan dihadapi dalam kehidupan mereka.
PBL ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar. Untuk itu, PBL dapat diterapkan dalam kurikulum pendidikan kita dan dalam proses pembelajaran.
1. Dosen memberikan umpan balik pada tugas yang dikumpulkan untuk diperbaiki pada akhir kuliah (proposal).
2. Diberikan umpan balik penilaian kinerja kelompok 3-4 kali pertemuan.
IV. Evaluasi
Dalam kegiatan diskusi kelompok, dosen melakukan penilaian kelompok untuk masing-masing mahasiswa dengan menggunakan contoh rubrik penilaian seperti di bawah ini:
Rubrik Aktivitas Diskusi
Skor Skala Kriteria:
4 : Sangat Baik
Mahasiswa mengajukan pertanyaan penting berhubungan dengan masalah yang dibahas lebih dari dua kali dalam satu pertemuan, memberikan tanggapan atas pertanyaan temannya, mengambil inisiatif dalam diskusi kelompok.
3 : Baik
Mahasiswa mengajukan pertanyaan penting berhubungan dengan masalah yang dibahas, frekuensi kurang dari 2 kali, memberikan tanggapan, ada inisiatif walau tidak penting.
2 : Cukup
Mengajukan pertanyaan yang kurang fokus, frekuensi 1 kali, kurang memberikan tanggapan, kurang inisiatif.
1 : Kurang
Pasif dalam diskusi, tidak ada pertanyaan dan tanggapan.
Simpulan
Pembelajaran Berbasis Masalah atau Problem Based Learning merupakan salah satu inovasi metode, model, dan strategi pembelajaran yang menekankan keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran, dimana siswa berpartisipasi aktif dalam menemukan solusi pemecahan suatu masalah secara bersama-sama dengan siswa lain, sementara peran guru/dosen hanya sebagai fasilitator/pembimbing pembelajaran. Dengan demikian, siswa diharapkan akan memiliki kompetensi (kemampuan) memecahkan berbagai permasalahan nyata yang akan dihadapi dalam kehidupan mereka.
PBL ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar. Untuk itu, PBL dapat diterapkan dalam kurikulum pendidikan kita dan dalam proses pembelajaran.
Daftar Rujukan
1. Judul : Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem-Based Learning)
Alamat : http://lubisgrafura.wordpress.com/2007/09/19/pembelajaran-berbasis-masalah/
Penulis : I Wayan Dasna dan Sutrisno
2. Judul : Belajar Berbasis Masalah dan Kreativitas
Alamat : http://ebook30.com › ... › psychology behavior
Penulis : Oon-Seng Tan
3. Judul : Problem-Based Learning
Alamat : http://en.wikipedia.org/wiki/Problem-based_learning
Penulis : Wikipedia
4. Judul : Problem Based Learning Berbasis Teknologi Informasi (TI)
Alamat : http://elearning.unimal.ac.id/upload/materi/pbl-ict.pdf
Penulis : I Wayan Warmada
5. Judul : Problem Based Learning (Pembelajaran Berbasis Masalah
Alamat : http://hajrianawarnadunia.blogspot.com/2010_04_01_archive.html
Penulis : Hajriana
makasih, bermanfaat banget. oya share buku2 sumbernya juga dong.
ReplyDelete